Al Hallaj

 Dalam dunia Tasawwuf terdapat banyak ajaran-ajaran beserta pencetus ajaran tersebut. Dalam ajaran-ajaran mereka banyak terjadi controversial ditengah-tengah masyarakat, khususnya dikalangan ulama fiqih.
            Setiap manusia pasti memiliki watak, pribadi serta pola pikir yang berbeda, karena itu pasti setiap orang punya cara tersendiri untuk mendekatkan diri kepada sang Khaliq. Apalagi orang-orang tertentu yang memiliki keinginan sangat kuat serta menginginkan hubungan yang sangat khusus terhadap Allah SWT yaitu orang-orang yang mengikuti ajaran Tasawwuf. Karena itulah banyak ajaran-ajaran Tasawwuf yang berkembang yang menimbulkan controversial.
            Ajaran-ajaran mereka banyak ditentang oleh kalangan pemerintahan, dengan alasan ajaran mereka menyesatkan ummat. Tetapi karena keteguhan mereka sangat kuat terhadap ajarannya, mereka tidak memperdulikan orang-orang yang menentangnya, bahkan walaupun mereka harus tebunuh atau dibunuh akibat ajaran-ajaran mereka yang dianggap menyesatkan.
            Pada kesempatan kali ini kami ingin sedikit membahas salah satu ajaran Tasawwuf yaituHulul, ajaran ini berasal dari seorang ulama Tasawwuf yang diberi julukan Al-Hallaj. Semoga makalah kami yang ringkas ini dapat membantu kita semua dalam memahami ajaran Hulul, yang dibawa olehAl-Hallaj, serta dapat mengambil hikmh dan pelajaran-pelajaran yang tersirat dalam kisah dan perjalanan beliau.
         
  1. Riwayat Hidup Al-Hallaj
            Nama lengkap al- Hallaj adalah Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (244-309 H / 857-922 M). al-hallaj yang berarti pemintal benang, lahir di Thur, sebelah timur laut Baidha’, Persia ( Iran ). Al-Hallaj adalah cucu dari seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Ayyub.
            Sebelum berusia 12 tahun ia belajar menghafal Al-Quran dan menjadi seorang hafizh (Al-Quran). Ia berusaha mencari makna batiniah dari surat-surat Al-Quran dan menerjunkan diri ke dalam tasawwuf di madrasah Sahl at-Tustari menuju Basrah. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.
            Selanjutnya ia pergi ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi benama Amr Al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia juga pernah menunaikan ibadah haji di Makkah sebanyak tiga kali. Al-Hallaj menikah dengan Umm al-Husain, puteri Abu Ayyub al-Aqtha’.
            Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fiqih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan dibawah ini menyebabkan seorang ulama fiqih bernama Ibn daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan membrantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fiqih penganut madzhab Zahiri, suatu madzhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seoarang sifir penjara.
            Dari Baghdad atas saran al-junaid ia pergi ke makkah. Disana ia menjalankan hajinya yang pertama dan menyelesaikan umrahnya selama satu tahun di halaman Masjid al-haram sambil berpuasa san berdzikir. Dalam suasana seperti ini, al-Hallaj berusaha dengan caranya sendiri menyatu dengan Allah dan mulai menyerukan penyatuan itu.
            Setelah kembali ke Khuzistan, al-Hallaj mulai menanggalkan baju gamis panjang kesufiannya dan kemudian memakai jubah agar dapat berbicara dan berdakwah secara lebih leluasa. Inilah permulaan kewaliannya, dimana tujuan utamanya adalah membuat setiap orang dapat menemukan Allah di dalam hatinya sendiri. Karenanya, al-Hallaj diberi julukan Hallaj al-Asrar (pemintal hati nurani)yang membuatnya dicurigai dan di benci serta dijadikan bahan polemic di antara para sufi.
            Beberapa kaum Sunni dan sebagian orang Kristen yang menjadi pejabat Negara di Baghdad menjadi pengikutnya. Teapi kalangan Mu’tazilah dan Syi’ah yang menjadi pejabat Negara menuduhnya sebagai penipu dan menentangnya. Lalu Al-Hallaj pergi ke khurasan untuk melanjutkan dakwahnya di antara koloni-koloni arab di sebelah Timur Iran dan menetap disana selama lima tahun. Kemudian Al-Hallaj kembali ke daerah Tustar, dn melalui bantuan Sekretaris Negara, Hamid Kunna’I, ia berhasil membawa keluarganya menetap di Baghdad .
            Kemudian Al-Hallaj melakukan Ibadah Hajinya yang kedua bersama 400 orang pengikutnya,tetapi beberapa kawan lamanya dari kalangan sufi menuduhnya menggunakan magic dan ilmu sihir serta membat perjanjian dengan jin. Setrelah haji keduanya ini, ia melakukan perjalanan panjang ke India dan Turkistan . Di India ia berhasil menyebarkan Islam dan mengembangkan pengaruhnya di sana . Buktinya, sebagian kasta yang ditarik ke dalam Islam sampai sekarang masih disebut sebagai Mansuri(yang ditolong), dan sebuah makam yang diyakini sebagai makamnya di Baghdad masih didatangi oleh orang-orang Gujarat, India .[3]
            Sekitar tahun 290 H/902 M, al-Hallaj kembali ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji yang ketiga kalinya sekaligus yang terakhir. Ia kembali ke sana dengan mengenakan muraqqa’ah ( sehelai kain tambalan yang menutupi bahunya) dan futha (sejenis kain celana India ) yang melingkar di pinggangnya. Ketika wukuf di Arafah, al-Hallaj berdoa agar Allah menguranginya menjadi tiada, menjadikan dirinya direndahkan dan ditolak, sehingga hanya Allah yang ada dalam jiwa dan bibirnya. Setelah kembali kepada keluarganya di Baghdad al-Hallaj membangun sebuah model Ka’bah di dalam rumahnya dan berdo’a di tengah malam di samping makam, dan pada siang hari ia mengumandangkan jalan atau mabuk cintanya kepada Allah dan keinginannya untuk meninggal secara terhina demi kaumnya.
            “Wahai kaum imuslim, selamatkan aku dari Allah, “Allah telah membuat darahku menjadi halal untuk engkau, maka bunuhlah aku,” seru Al-Hallaj. Seruan ini memunculkan emosi dan memicu kecemasan di kalangan kaum terdidik. Seorang Zhahirin, Muhammad ibn dawud, marah ketika al-hallaj mengumumkan penyatuan mistiknya dengan Allah, ia meminta agar al-Hallaj diseret ke pengadilan dengan melakukan provokasi agar al-Hallaj dihukum mati. Tetapi ahli fiqih Syafi’I, Ibn Suraij, menyatakan bahwa inspirasi mistik itu diluar ketentuan fiqih.
            Pada tahun 296 H/908 M beberapa aktivis reformasi sunni (di bawah pengaruh seorang penganut aliran Hanbali, Barbahari) melakukan perebutan kekuasaan dan mengangkat Ibn al-Mu’taz sebagai Khalifah. Tetapi usaha mereka gagal, dan Khalifah al-Muqtadir memulihkan kembali pejabat finansialnya yang Syi’ah, Ibn Furat. Akibatnya al-hallaj menerima perlakuan represif dari orang-orang yang bersikap anti Hanbali, tetapi ia berhasil menyelamatkan diri menuju Sus di Ahwaz, walaupun empat pengikutnya ditahan.
            Tiga tahun kemudian al-Hallaj sendiri ditahan dan dibawa ke Baghdad sebagai korban kebencian hamid, seorang pengikut Sunni, Al-Hallaj lalu dimasukkan ke dalam penjara selama sembilan tahun. Pada tahun 301 H/913 M, Menteri Ibn ‘Isa, saudara sepupu dari salah seorang pengikut al-Hallaj mengakhiriperadilan terhadap al-Hallaj dan pengikut-pegikutnya yang meringkuk dalam penjara dengan tuntunan dibebaskan.
            Sayangnya, karena provokasi represif dari musuh-musuh al-Hallaj dengan dukungan kepala polisi yang juga lawan menteri Ibn ‘Isa, al-Hallaj dihukum tiga hari, dan di atas kepalanya dipasang plakat bertuliskan “Agen Qarmathiyah”.
            Al-Hallaj kemudian dibawa ke suatu tempat di mana ia sempat memberi ceramah kepada kalangan narapidana lainnya. Pada tahun 303 H/915 M, al-Hallaj merawat khalifah yang sakit demam, dan pada tahun 305 H ia “menghidupkan kembali” pangeran putera mahkota itu. Kaum Mu’tazilah lantas mengumumkan ajaran pedukunan al-Hallaj. Pada tahun 304-306 H, menteri Ibn ‘Isa yang mengagumi al-Hallaj digantikan oleh Ibn Furat yang anti al-Hallaj. Namun pengaruh sang Ratu mencegah menteri baru itu untuk membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Pada periode ini muncul dua karya utama al-Hallaj, yaitu Thasin al-Azal, sebuah perenungan tentang Iblis, sang monoteis yang tidak patuh, dan karya pendeknya yang berjudul Mi’raj Nabi Muhammad, yang berhenti di Sirat al-Muntaha.
            Peradilan terhadap al-Hallaj dibuka kembali pada tahun 308-309/921-922 M. Latar belakang peradilan ini adalah adanya spekulasi keuangan Hamid yang ditentang oleh Ibn Isa. Untuk menghancurkan pengaruh Ibn ‘Isa, Hamid membuka kembali peradilan terhadap al-Hallaj. Kali ini ia dibantu oleh Ibnu Mujahid, pemimpin terkemuka dari kumpulan qurra sekaligus sahabat sufi Ibn Salim dan Asy-Syibli, tetapi menentang Al-Hallaj.
            Dan akhirnya pada tanggal 18 zulqa’dah tahun 309 H(921 M). al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Ia dihukum bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya, dan ditinggalkan tergantung bagian-bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang bebeda pendirian. Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj sebagai berikut.
“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang-orang seraya berdo’a, yang diakhiri kata-kata: “Dan hamba-hamba-Mu yang bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka ampunilah mereka, ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah Kau anugerahkan kepada mereka yang Kau telah anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan melakukan apa yang telah mereka lakukan. Dan bila Kau sembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau-Lakukan,dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau kehendaki.
   2. Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Hulul.
            Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
            Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapau da sifat dasar, yaitu lahut(ketuhanan) dannasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya al-thawasin.
            Selain itu al-hallaj terkenal dengan ucapannya yang controversial, yaitu ana al-haqq, yang berarti “Akulah Tuhan”. Menurut Gilani Kamran, frase mistik ana al-haqq mempunyai sejarah yang panjang, baik sebagai pernyataan maupun pengalaman. Sebagai pernyatan, ana al-haqq telah dibahas dari berbagai segi, dan nuansa panteistiknya telah diperdebatkan.
            Sebagai pengalaman, kebenaran kata-kata itu sering ditentang. Dalam kerangka yang diberikan oleh pemikiran spekulatif Islam (teologi), ungkapan ana al-haqq menduduki tempat yang penting dalam hubungan Tuhan dengan manusia. Namun karena alas an ini, frase tersebut menimbulkan kesulitan pada sikap teologi Islam, karena ungkapan ini menunjukan saling tumpamh tindih sifat Ilahi dan Insani dalam diri manusia.
            Kemudian Syaikh Ahmad Sirhindi (1563-1624) membahas ana al-haqq dalam tradisi teologi dan menegaskan bahwa ana al-haqq merupakan pernyataan situasional, dan ungkapan ini mempresentasikan kualitas pengalaman yang otentik. Beliau menyatakan bahwa ana al-haqq sebagai kebenaran tidaklah mengacu kepada kondisi penyatuan, tetapi pada dasarnya al-haqq sepenuhnya menyelimuti kesadaran jiwa yang menyesali diri (contemplative ego). Pada kondisi ini ana hanya mengetahui ­al-haqq yang menyelimtinya, dan secara bersamaan kehilangan identitasnya. Hilangnya identitas personal inilah yang membuat pernyataan al-Hallaj menjadi penting.
            Syaikh Ahmad sirhindi menegaskan bahwa ana al-haqq tidak mengacu pada penyatuan dengan esensi Tuhan atau sifat-Nya. Dengan demikian, al-haqq sebagai “Akulah Kebenaran” secara kategoris dikesampingkan oleh Syiakh Ahmad Sirhindi yang menafsirkan frase itu sebatas penegasan melalui sangkalan. Menurut beliau, ana al-haqq tidak hendak menegaskan makna “Akulah Kebenaran”, tetapi hanya pernyataan bahwa “Aku tiada, hanya Dia yang ada satu-satunya.” Tanpa penyangkalan diri, maka pengukuhan atas kebenaran Tuhan masih belum terselesaikan. Al-Hallaj sebenaenya menandaskan keyakinan-nya melalui penyangkalan diri.

Related : Al Hallaj

0 Komentar untuk "Al Hallaj"